Langsung ke konten utama

Cerita Ayah (Part 1)


Sore itu, di halaman parkir sebuah gedung 20 lantai di salah satu jalan protokol di Jakarta,
terparkir sebuah mobil mewah keluaran terbaru. Terlihat seorang pria duduk di kursi pengemudi dengan kemeja dan jas rapi, ditilik dari wajahnya, usianya sekitar 35 tahun. Disebelahnya, duduk dengan manis seorang anak laki-laki berumur 5 tahun mengenakan seragam taman kanak-kanak. Anak manis itu pastilah buah hati pria tersebut dengan istrinya.
“Ayah...” panggil anak tersebut sambil menjawil lengan ayahnya yang sedang menyelesaikan pekerjaannya.
“Ya, sayang?” jawab ayahnya sambil tetap melanjutkan pekerjaannya.
“Tidakkah ayah ingin bercerita pada Arya?” Arya, nama anak itu, bertanya pada ayahnya dengan nada penuh harap.
“Cerita apa?” ayahnya tidak mengerti.
“Cerita apa saja, Arya bosan hanya duduk menunggu bunda disini, melihat ayah bekerja terus.”
Dengan umurnya yang baru 5 tahun, kemampuan bicara anak itu sangat mengagumkan. Ayahnya yang sadar jika sedari tadi ia terus bekerja, segera menutup pekerjaannya.
“Maafkan ayah, Arya,” katanya dengan nada menyesal, “Arya mau ayah ceritakan apa? Malin Kundang? Atau Timun Mas?”
“Arya sudah hafal cerita itu, ayah.” Arya mengerucutkan bibirnya.
“Kalau begitu, hm... Bawang Merah dan Bawang Putih?” ayahnya menyebutkan cerita lain.
“Sudah hafal juga.”
“Keong Mas?”
“Sudah.” Arya makin mengerucutkan bibirnya.
“Kalau Arya sudah hafal semua, ayah mau cerita apa?” kata ayahnya sambil tertawa.
“Cerita apa saja, tapi jangan yang Arya sudah hafal.” anak itu masih berharap.
“Bagaimana kalau cerita ayah?”
“Cerita ayah?” mata Arya membesar.
“Iya, cerita ayah. Cerita masa kecil ayah. Arya mau dengar?”
“Mau, Arya mau.” mata arya semakin membesar.
“Baik, akan ayah ceritakan. Dengarkan ayah baik-baik ya.” ayahnya tersenyum.
Arya menjawab dengan senyum dan anggukan.
            “Arya lihat gedung tinggi disana? Dibelakang gedung putih itu?” kata pria itu sambil menunjuk sebuah gedung.
“Iya, Arya lihat.” jawab anaknya.
“Dulu, saat ayah masih kecil, ayah tinggal disana.”
“Sungguh? Ayah tinggal di gedung tinggi itu?” Arya penasaran.
“Tidak, Arya. Dulu gedung itu adalah sebuah panti asuhan kecil.”
“Jadi, dulu ayah tinggal di panti asuhan?” anak itu makin penasaran.
“Iya, Arya.” ayahnya mengangguk.
“Wah,ayah hebat.”
“Apa yang hebat?” ayahnya tidak mengerti.
“Iya, hebat. Dulu ayah tinggal di panti asuhan, sekarang ayah jadi orang hebat.”
Ayahnya tersenyum, “Bisa ayah lanjutkan ceritanya?”
“Iya, ayah. Silahkan.” Arya tersenyum malu.
“Baiklah.”
***
“Pembohong kau!” terdengar teriakan marah dari dalam bangunan panti asuhan kecil di ujung jalan protokol Jakarta.
“Kau yang mencuri uang di dalam laciku, bukan? Jawab!” amarah orang itu semakin menjadi-jadi.
“Jawab pencuri!” orang itu berteriak sambil menekan dada anak kecil yang dituduhnya mencuri dengan rotannya.
Anak itu hanya terdiam dan menringis kesakitan. Rotan yang dipegang oleh orang itu tak hanya menusuk dadanya, tapi menusuk sampai ke hatinya. Sudah ia dituduh pencuri, dibilang pembohong pula.
“Aku... aku tidak mencuri.” jawab anak itu sambil menahan sakit di dada.
“Diam kau!” bentak orang itu.
Alamak, apa pula mau orang ini, tadi aku disuruh jawab sekarang disuruh diam, batin anak itu.
“Keluar kau! Tidak ada selimut untuk kau malam ini, juga tidak ada makanan selama seminggu, keluar!” orang itu berteriak semakin kencang, hingga seluruh penghuni panti bergidik ketakutan.
Malam itu, anak tersebut tidur di teras depan panti asuhan dengan ditemani suara rintik hujan. Dengan menghela napas panjang, anak itu berusaha memejamkan mata ditengah gelap dan dinginnya malam.
***
Dari dalam mobil di parkiran gedung 20 lantai itu juga terdengar helaan napas. Bukan dari pria yang sedang bercerita tentang masa kecilnya. Tetapi, dari seorang anak kecil yang duduk manis disampingnya. Arya menghela napas panjang mendengar cerita ayahnya. Anak itu, walaupun umurnya baru mencapai 5 tahun, dapat mengerti kemana arah cerita ayahnya.
Ayahnya tersenyum, “Mengapa Arya menghela napas?”
“Tidak tahu, Ayah. Tapi, membayangkan ayah tidur di luar dan kedinginan, Arya jadi sedih.” mata anak itu berkaca-kaca.
“Tidak, Arya tidak boleh menangis, Ayah ‘kan kuat, jadi malam itu ayah tidak kedinginan. Lagipula, ayah ‘kan baru mulai bercerita, masa’ Arya sudah mau menangis, ayo senyum,” ayahnya menghibur, “kalau Arya menangis, ceritanya tidak ayah lanjutkan.” katanya dengan nada mengancam.
“Tidak, tidak, Arya tidak menangis,” Arya mengusap air matanya, “ayo lanjutkan, ayah.”
“Tidak sekarang, Arya.” ayahnya tersenyum.
“Mengapa, ayah?” Arya bingung, ‘kan ia sudah menghapus air matanya, kenapa ayah tidak mau melanjutkan ceritanya.
“Itu lihat, bunda sudah selesai bekerja. Arya sambut bunda dengan senyum, ya. Nanti, kapan-kapan ayah lanjutkan ceritanya.”
 “Ayah janji?” Arya membesarkan matanya.
“Janji.” ayahnya tersenyum.
Terdengar suara pintu mobil dibuka dari luar, disusul oleh suara seorang wanita, “Ayah janji apa sama Arya?”
“Wah, bunda sudah disini. Selamat sore, bunda. Tidak ada apa-apa, hanya bisnis dengan bos kecil.” ayahnya mengacungkan tinju ke arah Arya.
“Iya bunda, hanya bisnis.” Arya membalas tinju ayahnya sambil tertawa.
“Ayo kita segera pulang, kalau terlalu sore nanti macet.”
“Siap, komandan!” jawab Arya dan ayahnya hampir bersamaan.
            Malamnya di sebuah rumah di kawasan elit Jakarta. Arya merajuk meminta ayahnya melanjutkan cerita.
“Ayah ‘kan sudah janji.” anak itu menagih janji ayahnya.
“Tapi tidak sekarang, Arya. Ini sudah malam, lebih baik Arya tidur.” ayahnya menenangkan.
“Kalau ayah tidak cerita justru Arya tidak bisa tidur.” Arya semakin merajuk.
“Baiklah. Tapi, Arya minta izin dulu sama bunda. Boleh atau tidak malam ini Arya tidur lebih malam untuk mendengarkan cerita ayah.”
            Belum habis kalimat ayahnya, Arya sudah loncat dari tempat tidurnya, berlari menuju kamar bundanya.
“Bunda...” panggil Arya pada bundanya dengan suara paling lembut.
“Ya, sayang.” bundanya menjawab tak kalah lembut.
“Bolehkah malam ini Arya tidur lebih malam?” Arya berharap.
“Untuk apa?”
“Arya ingin mendengarkan lanjutan cerita ayah, boleh ya, bunda?” mata Arya semakin membulat seperti bulan purnama, menunggu jawaban dari bundanya.
“Besok Arya ada acara atau tidak?” bundanya balik bertanya.
“Tidak ada, bunda.”
“Baiklah, tapi jangan sampai larut sekali, ya. Arya dan ayah ‘kan butuh istirahat.” bundanya mengingatkan.
            Arya yang senang bukan kepalang segera berlari kembali ke kamarnya, berteriak pada ayahnya.
“Ayah! Diizinkan sama bunda.” teriaknya kegirangan.
“Oh ya?” ayahnya setengah tidak percaya, biasanya istrinya itu paling anti membiarkan anaknya tidur larut malam.
“Pasti Arya pakai jurus, ya?” ayahnya menggoda.
“Ayah tahu saja.” Arya tertawa.                    
“Jadi, bisa ayah lanjutkan ceritanya sekarang?” kata ayahnya memotong tawa Arya.
“Iya, Ayah.” Arya bersiap mendengarkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

General Ahmad Yani

Ahmad Yani was born in Jenar,  Purworejo ,  Central Java  on 19 June 1922 to the Wongsoredjo family. In 1927, Ahmad Yani moved to Batavia with his family. In Batavia, Ahmad Yani enter the primary and secondary school. In 1940, Ahmad Yani left high school to undergo compulsory military service in the  Army of the Dutch East Indies  colonial government.

Cerita Ayah (Part 2)

Setelah semalaman memikirkan kemungkinan untuk kabur dari panti asuhan, akhirnya tengah malam anak itu berani untuk pergi dari bangunan tua itu. Tidak tahu harus melakukan apa setelah kabur, pagi hingga siang harinya anak itu mengunjungi banyak proyek pembangunan. Ia bermaksud untuk menawarkan diri bekerja sebagai kuli bangunan.