Langsung ke konten utama

Cerita Ayah (Part 2)


Setelah semalaman memikirkan kemungkinan untuk kabur dari panti asuhan, akhirnya tengah malam anak itu berani untuk pergi dari bangunan tua itu. Tidak tahu harus melakukan apa setelah kabur, pagi hingga siang harinya anak itu mengunjungi banyak proyek pembangunan. Ia bermaksud untuk menawarkan diri bekerja sebagai kuli bangunan.
“Badan ringkih macam kau mau jadi kuli bangunan? Bah, mengangkat batu-bata lima biji saja tak kuat, apalagi mengangkat satu sak semen. Pergi saja kau.” mandor itu berbalik, meninggalkan anak tersebut di gerbang proyek.
Entah sudah kali ke berapa anak itu ditolak bekerja sebagai kuli. Alasannya sederhana saja, karena tubuhnya kurus. Sadar akan kelemahannya, sore harinya anak itu menuju ke sebuah toko di perempatan pasar dekat proyek pembangunan terakhir yang didatanginya. Berniat menawarkan jasanya, walau sekedar menjadi pesuruh bersih-bersih.
“Kalau tukang bersih-bersih, sudah ada. Tapi kalau kamu mau jadi kasir, boleh. Kemarin baru berhenti kerja orangnya, belum ada yang menggantikan. Kamu bisa berhitung ‘kan?”
“Bisa, pak. Bisa. Saya mau.” anak itu senyum kegirangan, akhirnya ada kabar baik yang menyambanginya hari itu.
“Kalau begitu besok kamu mulai kerja, ya. Rumahmu dimana?”
“Saya tidak punya rumah, pak. Saya yatim piatu.” anak itu tertunduk.
“Ya sudah, kamu tinggal di kios ini saja. Sekalian jagain kios. Ini setengah dari gaji kamu saya kasih di awal, untuk beli keperluan,” pemilik toko memberikan beberapa lembar uang kertas kepada anak itu, “ada bilik kecil di belakang untuk kamu tidur, ada kipas anginnya. Kalau kamu mau mandi, bisa di wc umum.”
“Terima kasih, pak. Terima kasih banyak.” anak itu tersenyum sambil menyalami tangan sang pemilik toko.
***
Arya juga tersenyum.
Respon anak itu terhadap cerita ayahnya kali ini berbeda dengan pada saat di mobil. Kali ini ia tersenyum, matanya tidak berkaca-kaca seperti saat ayahnya bercerita di mobil.
“Arya tersenyum?” ayahnya mendelik.
“Kenapa?” Arya tidak mendengar.
“Arya mengapa tersenyum?” ayahnya mengulang pertanyaan.
“Oh, iya. Arya senang ada orang yang baik pada ayah,” anak itu tersenyum polos, “lalu selanjutnya bagaimana, ayah?” Arya tidak sabar.
“Ayah bekerja selama kurang lebih satu tahun di toko itu. Sampai suatu malam ayah lupa mengunci laci uang, semua uang penjualan hari itu raib diambil maling. Ayah tidak tahu persis jumlahnya karena belum ayah hitung. Hari itu memang ayah sedang tidak enak badan, jadi kurang fokus bekerja. Besoknya, setelah melihat laci uang kosong, pemilik toko marah besar pada ayah. Ayah diusir dari tokonya. Sejak hari itu ayah tinggal di pasar. Siang mencari uang menjadi kuli angkut yang penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari sekali, malamnya tidur di emperan toko beralaskan kardus tipis.”
            Kali ini Arya tidak menunjukkan reaksi apapun. Ia hanya terdiam mendengar cerita ayahnya. Anak itu tahu, jika ia menangis, ayahnya tidak akan melanjutkan cerita. Arya juga tidak tersenyum, karena cerita yang disampaikan ayahnya kali ini bukanlah cerita menyenangkan.
“Arya melamun, ya?” ayahnya melambaikan tangan di depan wajah Arya.
“Tidak, ayah. Arya tidak melamun,” Arya menatap ayahnya, matanya mengerjap-ngerjap, “Arya menghayati cerita ayah.”
“Apa, maksudnya ‘Arya menghayati cerita ayah’?” ayahnya tersenyum.
“Ya, Arya membayangkan diri Arya sebagai ayah.” anak itu berkata sok serius.
“Bahasamu itu Arya, seperti orang dewasa.” ayahnya tertawa
“Ha?” Arya menatap ayahnya tidak mengerti. Apanya yang seperti orang dewasa? Pikir Arya.
“Ceritanya sampai disini dulu, ya. Ini sudah terlalu malam, nanti bunda marah. Besok kita lanjutkan, oke? Tidak ada penolakan.” ayahnya mengancam melihat Arya ingin membuka mulut, meminta ceritanya dilanjutkan.
“Baiklah, ayah.” Arya menurut, segera menarik selimut.
“Selamat malam, Arya.” ayahnya menutup pintu.
“Malam, ayah.” Arya berusaha menutup matanya, berusaha untuk cepat tertidur agar esoknya dapat kembali mendengar lanjutan cerita ayahnya.
            Kata orang, waktu akan berlalu sangat cepat bagi orang-orang yang bahagia, bagi orang-orang yang menikmati hidupnya, membiarkan takdirnya mengalir sebagaimana mestinya. Sebaliknya, akan terasa amat lambat bagi orang-orang yang tidak dapat menikmati hidup, terus mengungkung dirinya dalam kesedihan.
Arya, anak manis itu, dalam hal ini termasuk ke dalam orang-orang yang bahagia dan menikmati hidupnya. Setelah ayahnya keluar kamar, ia segera jatuh tertidur. Malam terasa amat singkat baginya. Begitu cahaya matahari melewati jendela kamarnya, ia segera terbangun. Arya teringat akan cerita ayahnya yang belum selesai disampaikan. Ia segera berlari ke kamar ayahnya, membuka pintu dan membangunkan ayahnya.
“Ayah, ayo bangun. Sudah pagi. Ayo lanjutkan ceritanya, ayah.” Arya menggoyang-goyangkan badan ayahnya sambil tertawa.
“Ini masih sangat pagi, sayang.” bundanya terbangun lebih dulu.
“Tapi Arya sangat penasaran bunda. Ayo ayah, lanjutkan ceritanya.” anak itu masih menggoyangkan badan ayahnya.
“Baik, Arya. Ayah bangun,” ayahnya duduk di tempat tidur, “nah, sebelum ayah lanjutkan ceritanya, lebih baik Arya mandi dulu. Habis itu kita sarapan bersama. Baru setelahnya, ayah lanjutkan cerita kemarin.”
            Demi mendengar ayahnya berjanji untuk melanjutkan cerita, tanpa disuruh dua kali, Arya telah melangkah menuju kamar mandi dengan semangat. Setelah mandi dan berpakaian dengan rapi, Arya segera bergabung ke meja makan untuk sarapan bersama ayah dan bundanya.
            “Ayah, lanjutkan ceritanya sekarang saja.” Arya berkata semangat.
“Sarapan dulu, sayang. Saat makan tidak boleh bicara. Setelah sarapan baru lanjutkan cerita sama ayah.” bundanya mengingatkan sambil menyiapkan sarapan untuk mereka.
“Iya, Arya. Lebih baik sekarang kita sarapan dulu. Setelah itu kita lanjutkan ceritanya di teras depan, ya.” ayahnya memberi penjelasan.
“Baik, ayah.” Arya mengangguk dan tersenyum.
***
            “Kamu tidak punya rumah? Ya sudah, tinggal sama ibu saja, ya. Di rumah singgah, banyak anak lain juga yang tinggal disana. Nanti kamu diajarkan keterampilan sama kakak-kakak yang datang ke rumah singgah, hasilnya bisa kamu jual. Daripada kamu jadi kuli angkut di pasar.” seorang ibu-ibu yang barang belanjaannya dibawakan oleh seorang anak berkata dengan lemah lembut. Wajah keibuannya menunjukkan perhatian yang besar terhadap anak tersebut.
            Saat sedang berbelanja untuk keperluan di rumah singgahnya, ibu itu tidak sengaja melihat seorang anak sedang menawarkan jasanya untuk mengangkut belanjaan para pengunjung pasar. Ia yang memang penyayang terhadap anak-anak, tersentuh untuk mengajak anak tersebut tinggal di rumah singgahnya.
“Tidak usah, bu. Saya disini saja. Sudah nyaman.” anak itu menjawab.
“Nyaman bagaimana, kamu tidur di emperan toko, makan tidak teratur. Sudah tinggal di rumah singgah ibu saja, ya.” ibu itu memegang lengan anak tersebut.
“Baik, bu. Terima kasih.” anak itu tersenyum.
“Iya, sama-sama. Ayo kita segera ke rumah singgah. Anak-anak lain pasti senang dapat teman baru.”
***
Lima belas menit lalu, setelah selesai sarapan, Arya langsung menarik ayahnya ke teras depan. Ia langsung menagih janji ayahnya untuk melanjutkan cerita. Kali ini Arya tidak terdiam setelah mendengar cerita ayahnya, seperti semalam. Ia tersenyum. Kali ini juga ayahnya tidak bertanya mengapa ia tersenyum. Karena ayahnya juga sedang tersenyum mengenang masa lalunya.
“Di rumah singgah itulah, ayah pertama kali mengenal bunda.”
“Oh ya? Bunda tinggal di rumah singgah juga?” Arya penasaran, mengabaikan senyum ayahnya.
“Iya. Bunda adalah anak dari ibu pemilik rumah singgah.” ayahnya mengangguk.
“Jadi, ibu pemilik rumah singgah itu adalah nenek?” rasa penasaran Arya semakin memuncak.
“Iya, Arya. Arya ingat pemilik toko yang mengusir ayah karena uang hasil penjualan hari itu diambil maling? Ternyata ia adalah suami ibu itu. Ayahnya bunda.” ayahnya semangat menceritakan. Inilah bagian terindah dari seluruh ceritanya.
“Berarti pemilik toko itu adalah kakek?” Arya tak dapat menahan rasa penasarannya.
“Betul sekali.” ayahnya menjentikkan jari.
“Lalu, kelanjutannya bagaimana, ayah?”
“Ibu itu, atau nenek, meminta kakek agar mempekerjakan ayah lagi di tokonya. Tetapi kakek tidak mau, takut kejadian uang diambil maling itu terulang lagi. Padahal waktu itu nenek sudah meyakinkan kakek kalau hal itu tidak disengaja oleh ayah, kakek tetap tidak mau mempekerjakan ayah lagi. Akhirnya, ayah diajarkan menganyam oleh kakak-kakak relawan yang datang ke rumah singgah. Pagi hari ayah belajar, siang berjualan hasil menganyam, lalu malamnya membuat anyaman.” Ayahnya kembali tersenyum mengenang masa lalunya.
“Ayah sungguhan bisa menganyam?” Arya lebih tertarik pada fakta bahwa ayahnya bisa menganyam.
“Jika Arya mau, bisa ayah ajarkan kapan-kapan.” ayahnya mengangguk.
“Ayah janji?” mata Arya membulat.
“Jika sudah bicara sama Arya, pasti semua dianggap janji. ‘Kan ayah tidak bilang janji, Arya.” ayahnya pura-pura menepuk dahi, tertawa.
“Salah ayah sendiri,” Arya mengerucutkan bibir, “lalu, bagaimana caranya ayah bisa seperti sekarang?” ia teringat akan cerita ayahnya.
“Seperti sekarang bagaimana?”
“Seperti sekarang, ayah yang sukses.” Arya tersenyum.
“Itulah gunanya kerja keras dan kesabaran, Arya. Setelah entah berapa lama ayah berjualan hasil anyaman, salah satu relawan menyambangi ayah, bilang kalau ayah memiliki kerja keras dan disiplin tinggi. Tidak lama setelah itu, ayah dipanggil menjadi mandor pembangunan gedung di dekat rumah singgah yang dilaksanakan oleh kantornya. Sejak saat itu, ayah banyak belajar tentang bangunan. Banyak bertanya pada orang-orang yang lebih mengerti”
“Lalu, bagaimana ayah bisa punya kantor sendiri?”
“Itu bukan kantor ayah, Arya. Ayah hanya menjalankan bisnisnya. Kantor itu milik relawan yang memberi pekerjaan pada ayah. Ia melihat ayah sangat gigih dalam mempelajari tentang bangunan. Ia akhirnya membuka cabang baru dan menunjuk ayah sebagai pemimpin cabang tersebut” ayahnya mengakhiri cerita dengan tersenyum.
            Arya terdiam. Anak itu, walaupun umurnya baru mencapai 5 tahun, dapat memahami dengan utuh pesan dari cerita yang disampaikan ayahnya.
“Arya ingin menjadi seperti ayah.” Arya tersenyum
“Seperti ayah?”
“Iya, menjadi orang yang selalu sabar dan selalu bekerja keras. Walau sesulit apapun hidup.” mata anak itu berbinar ketika mengucapkan kalimat tersebut.
“Itu benar, Arya. Hidup harus selalu seperti itu.” ayahnya merangkul pundak Arya.
“Ayah...” Arya mendongak menatap ayahnya.
“Ya.” Ayahnya balas menatap.
“Bolehkah ayah menceritakannya sekali lagi? Cerita ayah sangat menarik.” Arya tersenyum.
“Baiklah.” ayahnya tertawa.
“Dan satu lagi, ayah.” Arya belum selesai dengan permintaannya.
Apa lagi? Ayahnya menyipitkan mata.
“Maukah ayah mengajari Arya menganyam? Arya akan sangat senang sekali jika ayah mau.” Arya mengeluarkan jurus pamungkasnya. Jika ia sudah berkata dengan suara paling lembut, maka tidak ada yang bisa menolak permintaannya.
Ayahnya menepuk dahi, mengangguk.

TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

General Ahmad Yani

Ahmad Yani was born in Jenar,  Purworejo ,  Central Java  on 19 June 1922 to the Wongsoredjo family. In 1927, Ahmad Yani moved to Batavia with his family. In Batavia, Ahmad Yani enter the primary and secondary school. In 1940, Ahmad Yani left high school to undergo compulsory military service in the  Army of the Dutch East Indies  colonial government.