Setelah semalaman memikirkan kemungkinan
untuk kabur dari panti asuhan, akhirnya tengah malam anak itu berani untuk
pergi dari bangunan tua itu. Tidak tahu harus melakukan apa setelah kabur, pagi
hingga siang harinya anak itu mengunjungi banyak proyek pembangunan. Ia
bermaksud untuk menawarkan diri bekerja sebagai kuli bangunan.
“Badan ringkih macam kau mau jadi kuli bangunan? Bah,
mengangkat batu-bata lima biji saja tak kuat, apalagi mengangkat satu sak
semen. Pergi saja kau.” mandor itu berbalik, meninggalkan anak tersebut di
gerbang proyek.
Entah sudah kali ke berapa anak itu ditolak
bekerja sebagai kuli. Alasannya sederhana saja, karena tubuhnya kurus. Sadar
akan kelemahannya, sore harinya anak itu menuju ke sebuah toko di perempatan
pasar dekat proyek pembangunan terakhir yang didatanginya. Berniat menawarkan
jasanya, walau sekedar menjadi pesuruh bersih-bersih.
“Kalau tukang bersih-bersih, sudah ada. Tapi kalau kamu
mau jadi kasir, boleh. Kemarin baru berhenti kerja orangnya, belum ada yang
menggantikan. Kamu bisa berhitung ‘kan?”
“Bisa, pak. Bisa. Saya mau.” anak itu senyum kegirangan,
akhirnya ada kabar baik yang menyambanginya hari itu.
“Kalau begitu besok kamu mulai kerja, ya. Rumahmu
dimana?”
“Saya tidak punya rumah, pak. Saya yatim piatu.” anak itu
tertunduk.
“Ya sudah, kamu tinggal di kios ini saja. Sekalian jagain
kios. Ini setengah dari gaji kamu saya kasih di awal, untuk beli keperluan,”
pemilik toko memberikan beberapa lembar uang kertas kepada anak itu, “ada bilik
kecil di belakang untuk kamu tidur, ada kipas anginnya. Kalau kamu mau mandi,
bisa di wc umum.”
“Terima kasih, pak. Terima kasih banyak.” anak itu
tersenyum sambil menyalami tangan sang pemilik toko.
***
Arya juga tersenyum.
Respon anak itu terhadap cerita ayahnya kali ini berbeda
dengan pada saat di mobil. Kali ini ia tersenyum, matanya tidak berkaca-kaca
seperti saat ayahnya bercerita di mobil.
“Arya tersenyum?” ayahnya mendelik.
“Kenapa?” Arya tidak mendengar.
“Arya mengapa tersenyum?” ayahnya mengulang pertanyaan.
“Oh, iya. Arya senang ada orang yang baik pada ayah,”
anak itu tersenyum polos, “lalu selanjutnya bagaimana, ayah?” Arya tidak sabar.
“Ayah bekerja selama kurang lebih satu tahun di toko itu.
Sampai suatu malam ayah lupa mengunci laci uang, semua uang penjualan hari itu
raib diambil maling. Ayah tidak tahu persis jumlahnya karena belum ayah hitung.
Hari itu memang ayah sedang tidak enak badan, jadi kurang fokus bekerja.
Besoknya, setelah melihat laci uang kosong, pemilik toko marah besar pada ayah.
Ayah diusir dari tokonya. Sejak hari itu ayah tinggal di pasar. Siang mencari
uang menjadi kuli angkut yang penghasilannya hanya cukup untuk makan sehari
sekali, malamnya tidur di emperan toko beralaskan kardus tipis.”
Kali ini
Arya tidak menunjukkan reaksi apapun. Ia hanya terdiam mendengar cerita
ayahnya. Anak itu tahu, jika ia menangis, ayahnya tidak akan melanjutkan
cerita. Arya juga tidak tersenyum, karena cerita yang disampaikan ayahnya kali
ini bukanlah cerita menyenangkan.
“Arya melamun, ya?” ayahnya melambaikan tangan di depan
wajah Arya.
“Tidak, ayah. Arya tidak melamun,” Arya menatap ayahnya,
matanya mengerjap-ngerjap, “Arya menghayati cerita ayah.”
“Apa, maksudnya ‘Arya menghayati cerita ayah’?” ayahnya
tersenyum.
“Ya, Arya membayangkan diri Arya sebagai ayah.” anak itu
berkata sok serius.
“Bahasamu itu Arya, seperti orang dewasa.” ayahnya
tertawa
“Ha?” Arya menatap ayahnya tidak mengerti. Apanya yang
seperti orang dewasa? Pikir Arya.
“Ceritanya sampai disini dulu, ya. Ini sudah terlalu
malam, nanti bunda marah. Besok kita lanjutkan, oke? Tidak ada penolakan.”
ayahnya mengancam melihat Arya ingin membuka mulut, meminta ceritanya
dilanjutkan.
“Baiklah, ayah.” Arya menurut, segera menarik selimut.
“Selamat malam, Arya.” ayahnya menutup pintu.
“Malam, ayah.” Arya berusaha menutup matanya, berusaha
untuk cepat tertidur agar esoknya dapat kembali mendengar lanjutan cerita
ayahnya.
Kata
orang, waktu akan berlalu sangat cepat bagi orang-orang yang bahagia, bagi
orang-orang yang menikmati hidupnya, membiarkan takdirnya mengalir sebagaimana
mestinya. Sebaliknya, akan terasa amat lambat bagi orang-orang yang tidak dapat
menikmati hidup, terus mengungkung dirinya dalam kesedihan.
Arya, anak manis itu, dalam hal ini termasuk
ke dalam orang-orang yang bahagia dan menikmati hidupnya. Setelah ayahnya
keluar kamar, ia segera jatuh tertidur. Malam terasa amat singkat baginya.
Begitu cahaya matahari melewati jendela kamarnya, ia segera terbangun. Arya
teringat akan cerita ayahnya yang belum selesai disampaikan. Ia segera berlari
ke kamar ayahnya, membuka pintu dan membangunkan ayahnya.
“Ayah, ayo bangun. Sudah pagi. Ayo lanjutkan
ceritanya, ayah.” Arya menggoyang-goyangkan badan ayahnya sambil tertawa.
“Ini masih sangat pagi, sayang.” bundanya terbangun lebih
dulu.
“Tapi Arya sangat penasaran bunda. Ayo ayah, lanjutkan ceritanya.”
anak itu masih menggoyangkan badan ayahnya.
“Baik, Arya. Ayah bangun,” ayahnya duduk di tempat tidur,
“nah, sebelum ayah lanjutkan ceritanya, lebih baik Arya mandi dulu. Habis itu
kita sarapan bersama. Baru setelahnya, ayah lanjutkan cerita kemarin.”
Demi
mendengar ayahnya berjanji untuk melanjutkan cerita, tanpa disuruh dua kali,
Arya telah melangkah menuju kamar mandi dengan semangat. Setelah mandi dan
berpakaian dengan rapi, Arya segera bergabung ke meja makan untuk sarapan
bersama ayah dan bundanya.
“Ayah,
lanjutkan ceritanya sekarang saja.” Arya berkata semangat.
“Sarapan dulu, sayang. Saat makan tidak boleh bicara.
Setelah sarapan baru lanjutkan cerita sama ayah.” bundanya mengingatkan sambil
menyiapkan sarapan untuk mereka.
“Iya, Arya. Lebih baik sekarang kita sarapan dulu.
Setelah itu kita lanjutkan ceritanya di teras depan, ya.” ayahnya memberi
penjelasan.
“Baik, ayah.” Arya mengangguk dan tersenyum.
***
“Kamu
tidak punya rumah? Ya sudah, tinggal sama ibu saja, ya. Di rumah singgah,
banyak anak lain juga yang tinggal disana. Nanti kamu diajarkan keterampilan
sama kakak-kakak yang datang ke rumah singgah, hasilnya bisa kamu jual.
Daripada kamu jadi kuli angkut di pasar.” seorang ibu-ibu yang barang
belanjaannya dibawakan oleh seorang anak berkata dengan lemah lembut. Wajah
keibuannya menunjukkan perhatian yang besar terhadap anak tersebut.
Saat
sedang berbelanja untuk keperluan di rumah singgahnya, ibu itu tidak sengaja
melihat seorang anak sedang menawarkan jasanya untuk mengangkut belanjaan para
pengunjung pasar. Ia yang memang penyayang terhadap anak-anak, tersentuh untuk
mengajak anak tersebut tinggal di rumah singgahnya.
“Tidak usah, bu. Saya disini saja. Sudah nyaman.” anak
itu menjawab.
“Nyaman bagaimana, kamu tidur di emperan toko, makan
tidak teratur. Sudah tinggal di rumah singgah ibu saja, ya.” ibu itu memegang
lengan anak tersebut.
“Baik, bu. Terima kasih.” anak itu tersenyum.
“Iya, sama-sama. Ayo kita segera ke rumah singgah.
Anak-anak lain pasti senang dapat teman baru.”
***
Lima belas menit lalu, setelah selesai
sarapan, Arya langsung menarik ayahnya ke teras depan. Ia langsung menagih
janji ayahnya untuk melanjutkan cerita. Kali ini Arya tidak terdiam setelah
mendengar cerita ayahnya, seperti semalam. Ia tersenyum. Kali ini juga ayahnya
tidak bertanya mengapa ia tersenyum. Karena ayahnya juga sedang tersenyum
mengenang masa lalunya.
“Di rumah singgah itulah, ayah pertama kali
mengenal bunda.”
“Oh ya? Bunda tinggal di rumah singgah juga?” Arya
penasaran, mengabaikan senyum ayahnya.
“Iya. Bunda adalah anak dari ibu pemilik rumah singgah.”
ayahnya mengangguk.
“Jadi, ibu pemilik rumah singgah itu adalah nenek?” rasa
penasaran Arya semakin memuncak.
“Iya, Arya. Arya ingat pemilik toko yang mengusir ayah
karena uang hasil penjualan hari itu diambil maling? Ternyata ia adalah suami
ibu itu. Ayahnya bunda.” ayahnya semangat menceritakan. Inilah bagian terindah
dari seluruh ceritanya.
“Berarti pemilik toko itu adalah kakek?” Arya tak dapat
menahan rasa penasarannya.
“Betul sekali.” ayahnya menjentikkan jari.
“Lalu, kelanjutannya bagaimana, ayah?”
“Ibu itu, atau nenek, meminta kakek agar mempekerjakan
ayah lagi di tokonya. Tetapi kakek tidak mau, takut kejadian uang diambil
maling itu terulang lagi. Padahal waktu itu nenek sudah meyakinkan kakek kalau
hal itu tidak disengaja oleh ayah, kakek tetap tidak mau mempekerjakan ayah
lagi. Akhirnya, ayah diajarkan menganyam oleh kakak-kakak relawan yang datang
ke rumah singgah. Pagi hari ayah belajar, siang berjualan hasil menganyam, lalu
malamnya membuat anyaman.” Ayahnya kembali tersenyum mengenang masa lalunya.
“Ayah sungguhan bisa menganyam?” Arya lebih tertarik pada
fakta bahwa ayahnya bisa menganyam.
“Jika Arya mau, bisa ayah ajarkan kapan-kapan.” ayahnya
mengangguk.
“Ayah janji?” mata Arya membulat.
“Jika sudah bicara sama Arya, pasti semua dianggap janji.
‘Kan ayah tidak bilang janji, Arya.” ayahnya pura-pura menepuk dahi, tertawa.
“Salah ayah sendiri,” Arya mengerucutkan bibir, “lalu,
bagaimana caranya ayah bisa seperti sekarang?” ia teringat akan cerita ayahnya.
“Seperti sekarang bagaimana?”
“Seperti sekarang, ayah yang sukses.” Arya tersenyum.
“Itulah gunanya kerja keras dan kesabaran, Arya. Setelah
entah berapa lama ayah berjualan hasil anyaman, salah satu relawan menyambangi
ayah, bilang kalau ayah memiliki kerja keras dan disiplin tinggi. Tidak lama
setelah itu, ayah dipanggil menjadi mandor pembangunan gedung di dekat rumah
singgah yang dilaksanakan oleh kantornya. Sejak saat itu, ayah banyak belajar
tentang bangunan. Banyak bertanya pada orang-orang yang lebih mengerti”
“Lalu, bagaimana ayah bisa punya kantor sendiri?”
“Itu bukan kantor ayah, Arya. Ayah hanya menjalankan
bisnisnya. Kantor itu milik relawan yang memberi pekerjaan pada ayah. Ia
melihat ayah sangat gigih dalam mempelajari tentang bangunan. Ia akhirnya
membuka cabang baru dan menunjuk ayah sebagai pemimpin cabang tersebut” ayahnya
mengakhiri cerita dengan tersenyum.
Arya
terdiam. Anak itu, walaupun umurnya baru mencapai 5 tahun, dapat memahami
dengan utuh pesan dari cerita yang disampaikan ayahnya.
“Arya ingin menjadi seperti ayah.” Arya tersenyum
“Seperti ayah?”
“Iya, menjadi orang yang selalu sabar dan selalu bekerja
keras. Walau sesulit apapun hidup.” mata anak itu berbinar ketika mengucapkan
kalimat tersebut.
“Itu benar, Arya. Hidup harus selalu seperti itu.”
ayahnya merangkul pundak Arya.
“Ayah...” Arya mendongak menatap ayahnya.
“Ya.” Ayahnya balas menatap.
“Bolehkah ayah menceritakannya sekali lagi? Cerita ayah
sangat menarik.” Arya tersenyum.
“Baiklah.” ayahnya tertawa.
“Dan satu lagi, ayah.” Arya belum selesai dengan
permintaannya.
Apa lagi? Ayahnya menyipitkan mata.
“Maukah ayah mengajari Arya menganyam? Arya akan sangat
senang sekali jika ayah mau.” Arya mengeluarkan jurus pamungkasnya. Jika ia
sudah berkata dengan suara paling lembut, maka tidak ada yang bisa menolak
permintaannya.
Ayahnya menepuk dahi, mengangguk.
TAMAT
TAMAT
Komentar
Posting Komentar